Jakarta, Indonesia adalah surga bagi para perokok dan
ibarat Disney Land bagi industri rokok. Bahkan Indonesia masih menempati
urutan ketiga di dunia dengan jumlah perokok terbanyak setelah China
dan India.
Berdasarkan data Riskesdas (Riset kesehatan dasar)
2010 diketahui prevalensi perokok di Indonesia mencapai 34,7 persen
dengan jumlah paling tinggi terjadi pada kelompok usia 25-64 tahun.
Jika
penduduk Indonesia pada tahun 2010 mencapai 237,56 juta, itu berarti
ada sekitar 82 juta penduduk yang merokok secara aktif dan kebanyakan
ada di pedesaan.
Jika dibandingkan, China adalah negara dengan
jumlah perokok terbanyak, yaitu sekitar 300 juta penduduk. Dan di urutan
kedua India dengan sekitar 120 juta penduduk adalah perokok aktif,
seperti dilansir CBC dan About.com, Selasa (31/5/2011).
Kenapa jumlah perokok Indonesia masih menduduki peringkat ketiga dunia?
Dr Douglas Bettcher, Director of Tobacco Free Initiative WHO dalam artikel detikHealth mengatakan
bahwa regulasi yang ada di Indonesia sangat permisif bagi industri
rokok. Inilah yang menjadikan jumlah perokok di Indonesia menempati
urutan ketiga terbanyak di dunia.
Menurutnya, hal ini bisa
dilihat dari pajak dan cukai rokok di Indonesia yang murah dibandingkan
negara lain, sangat sedikit area bebas rokok (baru ada 11 daerah yang
memiliki Perda tentang rokok), tidak ada aturan memasang dampak
bergambar di bungkus rokok, penjual rokok dimana-mana dan masih banyak
lagi.
Selain itu, hanya ada dukungan berhenti merokok yang
tersedia di beberapa klinik kesehatan, fasilitas pelayanan primer,
beberapa rumah sakit dan di tingkat masyakarat. Terapi dengan Pengganti
Nikotin (NRTs) dan farmakoterapi lainnya tidak tersedia. Indonesia juga
belum memiliki layanan telepon nasional untuk berhenti merokok.
Dr
Bettcher menjelaskan bahwa rokok 100 persen sama dampaknya dengan
narkoba yang ilegal. Bahkan rokok bisa lebih parah karena tidak seperti
narkoba, merokok bisa dilakukan di hampir semua tempat dan rokok bisa
dibeli di mana saja.
"Kemana pun Anda pergi di daerah Indonesia,
Anda dengan mudah menemukan orang yang merokok, baik di rumah, kantor,
rumah makan, bandara, sekolah bahkan di rumah sakit," tegas Dr Bettcher.
Menurut
Dr Bettcher, sebenarnya strategi yang dilakukan oleh perusahaan rokok
sama saja di seluruh dunia, yang membedakan adalah bagaimana pemerintah
setempat meregulasinya.
"Indonesia ini sangat permisif bagi
industri rokok. Bisa dilihat betapa banyaknya iklan-iklan rokok yang ada
di televisi, koran, radio atau media-media di Indonesia yang dapat
diakses oleh siapa saja, bahkan anak-anak," jelas Dr Bettcher.
Sedangkan
Prof dr Budi Sampurna, SH, DFM, SpF(K), SpKP selaku Kepala Biro Hukum
dan Organisasi Kemenkes menuturkan ada 2 undang-undang yang masih
membolehkan adanya iklan tentang rokok asalkan dalam iklan tersebut tidak ada wujud rokoknya, yaitu undang-undang tentang penyiaran dan pers.
Menurut
Prof Budi, berdasarkan diskusi yang panjang maka hasil akhirnya untuk
saat ini adalah mengendalikan terlebih dahulu iklan rokok. Tujuannya
adalah untuk mencegah anak-anak muda yang masih belum tahu banyak
mengenai rokok terpapar oleh iklan rokok yang berlebihan.
"Kita
semua dalam hal ini jajaran kementrian kesehatan maunya total ban
(pelarangan total) termasuk dengan KPAI, tapi apa yang bisa kita lakukan
hanya pengendalian. Setidaknya masih ada rem meskipun tidak berhenti
sama sekali," ujar Prof Budi dalam acara temu media menyambut Hari Tanpa
Tambakau Sedunia 2011.
Upaya lain yang dikendalikan termasuk
dalam hal sponsorship perusahaan rokok untuk event (acara) tertentu atau
program CSR-nya agar tidak mengiklankan peristiwa tersebut, serta
melakukan pembatasan terhadap iklan rokok di bilboard.
Sementara
itu dalam Undang-undang kesehatan sebenarnya sudah disebutkan bahwa
tembakau termasuk ke dalam salah satu zat aditif. Dan saat ini RPP
mengenai tembakau masih dalam tahap pembahasan dan belum mencapai
kesepakatan.
sumber: detik health
Tidak ada komentar:
Posting Komentar