Masa
remaja bisa jadi masa di mana individu mengkonsumsi rokok. Smet (1994)
berpendapat bahwa usia pertama kali merokok umumnya berkisar antara usia
11-13 tahun dan mereka pada umumnya merokok sebelum usia 18 tahun. Usia
tersebut dapat dikategorikan termasuk dalam rentangan masa remaja.
Lebih jauh lagi Data WHO mempertegas bahwa remaja memiliki kecenderungan
yang tinggi untuk merokok, data WHO menunjukkan bahwa dari seluruh
jumlah perokok yang ada di dunia sebanyak 30% adalah kaum remaja
(Republika, 1988).
Terdapat
banyak alasan yang melatarbelakangi remaja untuk merokok. Secara umum
berdasarkan kajian Kurt Lewin, merokok merupakan fungsi dari lingkungan
dan individu. Artinya, perilaku merokok selain disebabkan dari faktor
lingkungan juga disebabkan oleh faktor diri atau kepribadian.
Faktor
dalam diri remaja dapat dilihat dari kajian perkemangan remaja. Remaja
mulai merokok dikatakan oleh Erikson (Gatchel, 1989) berkaitan dengan
adanya krisis aspek psikososial yang dialami pada masa perkembangannya
yaitu masa ketika mencari jati diri. Dalam masa remaja ini sering
terjadi ketidaksesuaian antara perkembangan psikis dan perkembangan
sosial. Upaya-upaya untuk menemukan jati diri tersebut tidak selalu
dapat berjalan sesuai dengan harapan masyarakat. Beberapa remaja
melakukan perilaku merokok sebagai cara kompensatoris. Seperti yang
dikatakan oleh Brigham (1991) yang dikutip oleh Helmi, bahwasanya
perilaku merokok bagi remaja merupakan perilaku simbolisasi. Symbol dari
kematangan, kekuatan, kepemimpinan, dan daya tarik terhadap lawan
jenis.
Merokok bagi sebagian remaja merupakan perilaku proyeksi dari
rasa sakit baik psikis maupun fsik. Walaupun di sisi lain, saat pertama
kali mengkonsumsi rokok dirasakan ketidakenakkan. Hal ini sejalan
dengan perkataan Helmi yang berpendapat bahwa saat pertama kali
mengkonsumsi rokok, kebanyakan remaja mungkin mengalami gejala-gejala
batuk, lidah terasa getir, dan perut mual. Namun demikian, sebagian dari
para pemula tersebut mengabaikan pengalaman perasaan tersebut, biasanya
berlanjut menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi ketergantungan.
Ketergantungan ini dipersepsikan sebagai kenikmatan yang memberikan
kepuasan psikologis. Sehingga tidak jarang perokok mendapatkan
kenikmatan yang dapat menghilangkan ketidaknyamanan yang sedang
dialaminya. Gejala ini apat djelaskan dari konsep tobacco dependency (ketergantungan
rokok). Artinya, perilaku merokok meruakan perilaku menyenangkan dan
dapat menghilangkan ketidaknyamanan dan bergeser menjadi aktivitas yang
bersifat obsesif. Hal ini disebabkan sifat nikotin aalah adiktif dan
anti-depressan, jika dihentikan tiba-tiba akan menimbulkan stress.
Secara
manusiawi, orang cenderung untuk menghindari ketidakseimbangan dan
lebih senang mempertahankan apa yang selama ini dirasakan sebagai
kenikmatan sehingga dapat dipahami apabila para perokok sulit untuk
behenti merokok. Klinke & Meeker (dalam Aritonang, 1997) mengatakan
bahwa motif para perokok adalah relaksasi. Dengan merokok dapat
mengurangi ketegangan, memudahkan berkonsentrasi, pengalaman yang
menyenangkan dan relaksasi.
Seperti
yang diungkapkan Levethal & Clearly dalam Cahyani dan dikutip
kembali oleh Helmi bahwasanya terdapat empat tahap dalam perilaku
merokok sehingga menjadi perokok, yaitu:
- Tahap Preparatory. Seseorang yang mendapatkan gambaran yang menyenangkan mengenai merokok dengan cara mendengar, melihat, atau dari hasil bacaan. Hal-hal ini menimbulkan minat untuk merokok.
- Tahap Initiation. Tahap perintisan merokok yaitu tahap seseorang meneruskan untuk tetap mencoba-coba merokok.
- Tahap becoming smoker. Apabila seseorang telah mengkonsumsi rokok sebnayak empat batang perhari maka seseorang tersebut mempunyai kecenderungan menjadi perokok.
- Tahap maintenance of smoking. Tahap ini merokok sudah menjadi salah satu bagian dari cara pegaturan diri (self regulating). Merokok dilakukan untuk memperoleh efek fisiologis yang menyenangkan.
Selain
faktor perkembangan remaja dan kepuasan psikologis, masih banyak faktor
dari luar individu yang berpengaruh pada proses pembentukkan perilaku
merokok. Pada dasarnya perilaku merokok adalah perilaku yang dipelajari.
Hal itu berarti terdapat pihak-pihak yang berpengaruh besar dalam
proses sosialisasi.
Konsep
sosialisai pertama berkembang dari Sosiologi dan dan Psikologi Sosial
merupakan suatu proses transmisi nilai-nilai, sistem belief, sikap
ataupun perilaku-perilakunya dari generasi sebelumnya kepada generasi
berikutnya (Durkin dalam Helmi). Adapun tujuan sosialisasi ini adalah
agar generasi berikutnya mempunyai sistem nilai yang sesuai dengan
tututan norma yang diinginkan kelompok, sehingga individu dapat diterima
dalam kelompok. Dalam kaitannya dengan perilaku merokok, pada dasarnya
hamper tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya untuk menjadi
perokok, bahkan masyarakat tidak menuntut anggota masyarakat untuk
menjadi perokok, namun demikian dalam kaitan ini secara tidak sadar, ada
beberapa agen yang merupakan model dan penguat bagi perokok remaja.
Agen
sosialisasi perilaku merokok pada remaja dapat merupakan orang tua
maupun teman sebaya. Dengan merujuk konsep transmisi perilaku, bahwa
pada dasarnya perilaku dapat ditransmisikan melalui transmisi vertical
dan horizontal (Berry dkk, 1992). Transmisi vertical dapat dilakukan
oleh orang tua dan transmisi horizontal dilakukan oleh teman sebaya.
Namun
bagaimanapun latarbelakang remaja melakukan perilaku mengkonsumsi
merokok tetap saja merokok sebagai salah satu bentuk adiksi yang harus
dieliminir. Dalam hal ini remaja di sekolah merupakan subjek layanan
profesi bimbingan dan konseling yang harus segera diberi bantuan.
Kendatipun perilaku merokok pada remaja dilatarbelakangi lingkungan dan
keprbadian, tetapi fokus bantuan konseling yang memandirikan adalah
membantu individu untuk memiliki kepribadian sehat dan interdependen
terhadap lingkungan.
sumber: http://fajarjuliansyah.wordpress.com/2010/02/07/perilaku-merokok-pada-remaja/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar