JAKARTA--MICOM: Pemerintah diminta menunda pengesahan Rancangan
Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengendalian Tembakau. Pasalnya, RPP
tersebut berpotensi mematikan industri rokok kretek dan membunuh budaya
bangsa.
Anggota Komisi VI dari Fraksi PDIP Hendrawan Supratikno berpendapat
sebaiknya RPP ditunda sampai pembahasan UU Pengendalian Tembakau di DPR
disusun. Saat ini, menurut dia, pembahasan UU masih ditunda, karena
masih dilakukan kajian-kajian akademik dari berbagai sisi.
"Dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, sebuah peraturan bisa direvisi oleh UU yang baru.
Jadi, jangan sampai RPP itu kelak jadi mubazir," kata Hendrawan dalam
diskusi di Jakarta, Rabu (2/5).
Sedangkan politikus Golkar yang juga anggota Masyarakat Bangga
Produk Indonesia (MBPI), Indra J Piliang, mengatakan bahwa desakan
pengesahan RPP merupakan sikap pemerintah yang tidak adil. "Masih banyak
problem bangsa yang membutuhkan penyelesaian daripada soal rokok,"
katanya.
Rokok kretek, kata Indra, adalah bagian dari cultural heritage yang bernilai ekonomi tinggi. "Membunuh kretek sama dengan membunuh budaya bangsa," tegas Indra.
Sedangkan Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia, Nurtantio
Wisnubroto, mengatakan bahwa beberapa kementerian belum membawa aspirasi
masyarakat tembakau. Di antaranya adalah Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Pertanian.
Menurut Wisnu, ada beberapa kementerian yang sampai sekarang belum
melakukan audiensi untuk menyerap aspirasi dari masyarakat yang
dibidanginya. "Kalau dikatakan kementerian telah menyetujui draft RPP,
menyetujui untuk siapa, karena belum pernah ada audiensi dengan
masyarakat yang menjadi kewenangannya," tambah Wisnu.
Ketua Umum Gabungan Perserikatan Perusahaan Rokok Indonesia (Gappri)
Ismanu Soemiran menilai RPP Pengendalian Tembakau berpotensi membunuh
industri kretek nasional dan masyarakat tembakau. Bahkan, sebelum RPP
ini diberlakukan saja, kematian industri kretek nasional terus terjadi
karena regulasi yang menekan industri ini.
Berdasarkan data Gappri, tahun 2005 jumlah pabrik rokok kretek
nasional lebih dari 5.000. Saat ini diperkirakan tinggal 1.000 pabrik.
"Jadi, Pemerintah sedang menggali lubang bagi kematian industri kretek
nasional. Ini genosida kretek di negeri sendiri," kata Ismanu.
Hendrawan menambahkan, perang dagang sekarang bukan lagi perang
harga. Tetapi, lanjutnya, perang melalui standardisasi dan regulasi.
"Jadi Pemerintah harus jeli memahami kepentingan bisnis farmasi dan
rokok putih asal Amerika Serikat di balik gerakan percepatan
penandatanganan RPP. Hidden agendanya (agenda tersembunyi) bisnis. Isu
kesehatan hanya titik masuk saja," tukasnya.
Kecurigaan itu, menurut Wisnu, terlihat dari adanya pasal dalam
draft RPP yang mendorong dilakukannya substitusi tanaman tembakau. "Ini
sama dengan menghilangkan tanaman tembakau," kata Wisnu.
Indra menambahkan, perlindungan terhadap tembakau adalah bagian dari
strategi kebudayaan dan ekonomi. "Strategi ini mestinya didukung oleh
pemerintah, bukan malah dihancurkan. Kalau mengatakan kretek dan
tembakau itu berbahaya, saya katakan bahwa produk farmasi itu juga
banyak yang berbahaya," ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar