VIVAnews - Petani tembakau di
Indonesia mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat segera
merevisi Undang-undang Kesehatan, yang dinilai telah mengkhianati dan
menindas para petani tembakau.
"Upaya memberangus petani tembakau merupakan aksi pengkhianatan
terhadap negara. Itu harus diusut." ujar Wakil Ketua Lembaga
Pengembangan Pertanian Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (LPP PWNU)
Kalimantan Timur, Elvyani NH Gaffar, dalam keterangan tertulis, Senin 26
Desember 2011.
Petani tembakau juga mendesak Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono segera membatalkan Rancangan Peraturan Pemerintah
(RPP) Tembakau. "Juga yang tak kalah penting, Presiden harus berani
mengganti Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian yang tidak pro
terhadap petani," kata dia, menegaskan.
Menurut dia, dua regulasi
yang sudah dan akan segera disahkan itu adalah bentuk lain penindasan
pemerintah terhadap rakyat. "Jika dua regulasi itu diterapkan (UU
Kesehatan dan RPP Tembakau ) petani jelas akan takut menanam tembakau.
Ujungnya jelas, dunia industri akan mengimpor tembakau, sementara petani
kita akan kehilangan pekerjaannya," ujarnya.
Lembaga
Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama Sumatera Barat juga menilai,
Pasal 113 ayat (2) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
merupakan salah satu pasal yang musti direvisi. Sebab, secara tak
langsung ayat ini memojokkan tembakau. Tembakau yang oleh agama
dinyatakan halal, dalam UU Kesehatan dinyatakan dilarang untuk
dikonsumsi dalam bentuk olahan apa pun.
Bagaimana sebenarnya
bunyi Pasal 113 ayat 2 itu? "Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada Ayat
1 meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan,
dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan
kerugian bagi dirinya dan atau masyarakat sekelilingnya. Produksi,
peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus
memenuhi standar dan atau persyaratan yang ditetapkan."
"Presiden
harus tegas, UU Kesehatan dan rencana pengesahan RPP tentang Tembakau
harus dibatalkan," kata Ketua LPPNU Sumatera Barat, Darmansyah, Sabtu 17
Desember.
LPPNU menilai, pengekangan terhadap petani tembakau secara ekonomi
justru akan merugikan pemerintah. Kalkulasinya, dalam setahun pemasukan
pemerintah dari komoditas ini mencapai Rp53 triliun. Dengan
diberlakukannya UU Kesehatan, lanjutnya, merupakan bentuk blunder yang
berdampak negatif pada penerimaan negara.
"Dalam setahun dari
cukai rokok saja negara mendapatkan Rp53 triliun. Apa yang akan terjadi
jika tembakau lokal dikekang," kata Darmansyah.
Besarnya andil tembakau membuat lembaga ini menilai pemerintah keliru jika menyisihkan komoditas tersebut.
Namun, benarkah angkanya sebesar itu? Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai Kementerian Keuangan menargetkan penerimaan cukai pada tahun depan
sebesar Rp72,44 triliun atau naik 6,4 persen dibandingkan target
APBN-Perubahan 2011.
Dari penerimaan sebesar itu, cukai rokok menyumbang penerimaan
sebesar Rp69,04 triliun, sedangkan cukai minuman keras Rp3,4 triliun.
Pemerintah sendiri memperkirakan produksi rokok pada tahun depan mencapai 268,4 miliar batang.
Terlepas dari itu, ribuan petani tembakau di sejumlah daerah yang
tergabung dalam Komite Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) melakukan
'Aksi Tutup Pantura'.
Mereka menuntut pemerintah membatalkan pengesahan Rencana Peraturan
Pemerintah (RPP) Anti Tembakau. Aksi ini diikuti 15 ribu petani. Ribuan
massa juga menggelar aksi di beberapa daerah. Sekitar 8.000 petani
menggelar aksi di Pertigaan Parakan Temanggung, 7 ribu di Pertigaan
Weleri, Kendal, 1.300 petani di Kantor Bupati Boyolali, dan 3.000 orang
di Jalan Kudus-Pati.
Koordinator KNPK, Zulvan Kurniawan, saat berbincang dengan VIVAnews.com, Kamis,
mengatakan bahwa RPP Tembakau itu lebih mengakomodir perusahaan rokok
besar. Terutama merek yang sudah dikenal di dunia, dan akan mematikan
pabrik rokok kecil yang mayoritas memproduksi rokok kretek. "Padahal,
kebanyakan petani tembakau menggantungkan nasibnya pada pabrik-pabrik
kecil ini," katanya.
Dia mengatakan, ketika ruang pabrikan kecil
semakin dibatasi, semakin sempit peluang tembakau dibeli pabrik. "Pabrik
kecil sangat menolong petani tembakau lokal."
Sebenarnya RPP ini sudah dibahas hampir setahun belakangan, namun
peraturan ini tak kunjung keluar. Pada September lalu, pemerintah
menargetkan RPP ini dapat selesai akhir tahun ini. "Semuanya sudah bulat
bahwa RPP ini harus menjadi PP. Segera," kata Menteri kesehatan Endang
Rahayu Sedyaningsih di Kantor Presiden, 26 September.
Menurut
dia, ada beberapa hal yang belum disepakati dalam pembahasan RPP
tersebut. Salah atunya mengenai peringatan bergambar pada bungkus rokok.
Namun, lanjut dia, pengusaha-pengusaha tersebut tidak mempersoalkan
adanya peringatan larangan merokok. "Kala pemerintah menetapkan, maka
mereka akan mengikuti," ujarnya.
Ciptakan Miliarder
Bisnis rokok di Indonesia telah menjadikan beberapa orang menjadi
miliarder dunia. Forbes misalnya, menobatkan keluarga Hartono, pemilik
pabrik rokok Djarum, di peringkat pertama sebagai orang terkaya di
Indonesia dengan total kekayaan US$14 miliar atau Rp126 triliun.
Sama
dengan Hartono, Susilo Wonowidjojo, juga mendapat keuntungan dari
rokok. Orang terkaya nomor dua dengan kekayaan US$10,5 miliar (Rp94,5
triliun) ini kaya melalui PT Gudang Garam Tbk.
Putera Sampoerna
juga menjadi orang terkaya kesembilan dengan kakayaan US$2,4 miliar
(Rp21,9 triliun) karena rokok. Namun kerajaan bisnisnya, PT HM Sampoerna
Tbk, ia jual pada 2005 ke Philip Morris International.
Meski
demikian, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI),
Tulus Abadi, menilai kekayaan para miliader ini ironi karena disumbang
dari rokok yang dibeli orang miskin alias kaum papa. Orang terkaya di
Indonesia, Budi Hartono, memiliki penghasilan Rp340 miliar per hari,
sementara penghasilan masyarakat Indonesia rata-rata Rp85 ribu per hari.
Tulus
mengatakan sistem cukai yang berlaku di Indonesia selama ini lebih
banyak digunakan untuk pemberdayaan industri rokok dan pembangunan.
Sementara di negara lain, cukai rokok digunakan untuk upaya pengendalian
rokok dan pengobatan. "Hal inilah yang menyebabkan konsumsi rokok itu
meningkat, terutama di usia anak-anak," katanya.
Berdasarkan data
Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik pada
2009, rumah tangga termiskin terperangkap konsumsi rokok. Enam dari 10
rumah tangga termiskin mengalokasikan pengeluarannya untuk rokok pada
2009. Sebanyak 68 persen rumah tangga di Indonesia memiliki pengeluaran
untuk membeli rokok.
Pengeluaran untuk membeli rokok ini akan
membebani ekonomi rumah tangga termiskin dan mengorbankan pengeluaran
lain yang jauh lebih penting. Pengeluaran untuk rokok berada di
peringkat dua setelah makanan pokok.
Dari sisi tembakau,
Indonesia adalah penghasil rokok terbesar di dunia setelah China dan
India. Sementara dalam epidemi tembakau global, Indonesia menduduki
urutan 3 setelah China dan India.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar