apa yang terbersit pikiran kalian ketika melihat kumpulan tukang becak sedang menunggu penumpang ? pasti sedang asyik mengebulkan asap rokok kan naum beda pemandanganya kita anda berkunjung ke Puskesmas Kedung Waringin Kabupaten Bekasi di sana ada 10 becak yang menamakan diri mereka BETARO becak anti rokok. mereka menyatakan diri antirokok dan memasang banner atau spanduk antirokok di becaknya. Abang-abang becak ituTerbentuknya komunitas BETARO tidak lepas dari peran Mukrim Elwildo,
seorang petugas promosi kesehatan di Puskesmas Kedung Waringin. Di
Puskesmas tersebut, Mukrim atau yang akrab dipanggil Ki Mukrim ini
kebetulan juga memegang Klinik Berhenti Merokok.
Spanduk dan
banner antirokok bekas dari klinik tersebut dulunya hanya dibuang-buang
setelah tidak digunakan, namun sekarang dimanfaatkan untuk menghias
becak. Ki Mukrim jelas tidak keberatan, sebab inisiatif abang-abang
becak ini sangat membantu tugasnya di bidang promosi kesehatan.
"Sekarang
malah ada yang bantu bikin banner sendiri, jadi tidak pakai banner
bekas lagi. Kemarin ada dana Rp 1.350.000 dari donatur dan itu
kebanyakan kalau hanya untuk bikin banner. Mungkin mau dibuatkan rompi
antirokok sekalian biar seragam," papar Ki Mukrim.
Banner
atau spanduk tersebut dipasang persis di bagian depan becak, sekaligus
berfungsi sebagai penutup saat hujan atau panas terik. Tulisannya
terang-terangan berisi peringatan tentang betapa berbahayanya asap
rokok, yakni "Smoking Danger!"
Selain bisa menjaga
kesehatan, menurut Pak Salam (51 tahun), seorang penarik becak anggota
Betaro, becaknya juga jadi lebih disukai pelanggan terutama ibu-ibu.
"Kebetulan pelanggan kami memang kebanyakan ibu-ibu yang mau pergi ke
pasar," kata Pak Salam saat dihubungi detikHealth, Selasa (14/2/2012).
Kok bisa Pak Salam berhenti merokok?
Pak
salam mengaku ia pun dulunya adalah perokok berat. Alasannya berhenti
merokok karena ia mengaku merasa sangat berdosa jika sampai anak-anaknya
tidak bisa sekolah hanya karena uangnya habis untuk beli rokok. Karena
sebagai abang becak, penghasilannya tidak lebih dari Rp 30.000/hari.
"Anak
saya 4, yang sulung hanya lulus SD karena waktu itu tidak punya duit.
Mau tidak mau sekarang saya harus banyak nabung biar tidak ada lagi yang
putus sekolah," kata Pak Salam yang masih harus membiayai 3 anaknya
yang lain, masing-masing duduk di bangku SMK, SMP dan SD.
(up/ir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar