Rabu, 22 Februari 2012

tersengal larena rokok

Tubuh kurus Amir Sukatja terguncang saat batuk mendera. Pria berusia 75 tahun ini, Jumat lalu, tengah menjalani kontrol rutin di gedung asma Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta. Sudah lebih dari 10 tahun warga Taman Wisma Asri, Bekasi Utara, ini menjadi pasien di rumah sakit rujukan nasional kesehatan paru-paru tersebut.

“Saya terkena penyakit paru obstruktif kronik (PPOK),” kata Amir saat ditemui Tempo. ”Menurut dokter, penyakit ini berkaitan dengan kebiasaan saya merokok.” Ia mengaku merokok sejak remaja karena pengaruh pergaulan. Kebiasaan itu terus tertanam hingga saat ia bekerja menjadi polisi. Selama puluhan tahun rokok putih ataupun rokok keretek terus disedot. “Enggak banyak, sih, sehari habis sebungkus,” kata bapak empat anak ini.

Kebiasaan buruknya itu baru dihentikan pada 1999 saat batuknya tak kunjung sembuh dan dada terasa nyeri. Sesak napas yang berulang kali muncul membuat Amir tersengal-sengal. Pengecekan di RS Persahabatan pun dilakukan, termasuk dengan spirometri, alat khusus untuk mengecek fungsi paru-paru. Dari situlah terlihat bahwa fungsi paru-paru Amir sudah menurun, meski ia tak tahu persis angka penurunannya. Dokter pun memvonis bahwa Amir mengalami PPOK.

Sejak saat itu saban hari pensiunan letnan kolonel itu rutin menghirup obat untuk memperlambat penurunan fungsi paru-paru. Selain itu, ke mana pun Amir pergi, di kantongnya selalu ada obat pelega pernapasan semprot, obat mujarab saat sesak napas menyerang.

PPOK adalah penyakit yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas. Penyebab utama gangguan ini adalah kebiasaan merokok meski faktor lain, seperti polusi udara, bisa menjadi pemicu PPOK. Penyakit ini menjadi salah satu topik yang dibahas dalam Pertemuan Ilmiah Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi di Jakarta pada 8-11 Februari.

“Penderita PPOK meningkat pesat sejalan dengan jumlah perokok di Indonesia yang semakin banyak,” kata Profesor Wiwien Heru Wiyono, dokter spesialis paru-paru dari FKUI-RS Persahabatan, seusai acara. Jumlah perokok meroket karena usia awal perokok di negeri ini kian muda. Selain itu jumlah perempuan yang merokok kian meningkat. Menurut Kementerian Kesehatan, prevalensi perokok pada wanita pada 1995 sebesar 1,7 persen, kemudian angkanya naik menjadi 4,2 persen pada 2010. Adapun prevalensi perokok pria meningkat dari 53 persen pada 1995 menjadi 66 persen pada 2010.

Ihwal PPOK, survei penyakit tidak menular yang dilakukan kementerian yang sama pada 2004 menunjukkan bahwa penyakit ini menempati urutan pertama penyumbang kesakitan (35 persen), diikuti asma bronkial (33 persen), kanker paru-paru (30 persen), dan penyakit lain (2 persen). Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), pada 2002, PPOK merupakan penyebab kematian ketiga terbesar bagi warga dunia setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Risiko bagi perokok untuk tersambar PPOK atau kanker paru-paru adalah 20-25 persen.

Menurut Nurfitriani, dokter yang saban hari menangani pasien PPOK di gedung asma RS Persahabatan, banyak pasien penyakit ini yang datang pada derajat dua, yang ditandai oleh sesak napas dan hambatan beraktivitas. “Kadang-kadang saja kami menemukan pasien yang datang pada derajat satu, yang ditandai dengan gejala batuk-batuk,” katanya. “Pada derajat satu, pasien sering tidak sadar bahwa paru-parunya bermasalah.”

Agar kualitas hidup pasien PPOK tak kian memburuk, selain pelega napas dan obat yang memperlambat kerusakan fungsi paru-paru, mereka mendapat rehabilitasi medik. Ada latihan pernapasan, senam, berolahraga dengan sepeda statis, dan latihan lainnya. Rehabilitasi seperti itu pula yang dijalani Amir. Merasa tak enak hidup dengan fungsi paru-paru yang kian menurun, Amir pun mewanti-wanti agar ketiga anaknya yang laki-laki menjauhi rokok.

“Lihat akibat buruknya seperti yang Bapak alami,” kata Amir. Kini anak sulungnya berhenti merokok. Adapun yang dua masih menjadi pekerjaan rumah bagi kakek sembilan cucu ini untuk mengingatkan bahaya merokok.

sumber: tempo.co

Tidak ada komentar:

Posting Komentar