Tubuh kurus Amir Sukatja terguncang saat batuk mendera. Pria berusia 75
tahun ini, Jumat lalu, tengah menjalani kontrol rutin di gedung asma
Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta. Sudah lebih dari 10 tahun warga Taman
Wisma Asri, Bekasi Utara, ini menjadi pasien di rumah sakit rujukan
nasional kesehatan paru-paru tersebut.
“Saya terkena penyakit paru obstruktif kronik (PPOK),” kata Amir saat ditemui Tempo.
”Menurut dokter, penyakit ini berkaitan dengan kebiasaan saya merokok.”
Ia mengaku merokok sejak remaja karena pengaruh pergaulan. Kebiasaan
itu terus tertanam hingga saat ia bekerja menjadi polisi. Selama puluhan
tahun rokok putih ataupun rokok keretek terus disedot. “Enggak banyak,
sih, sehari habis sebungkus,” kata bapak empat anak ini.
Kebiasaan
buruknya itu baru dihentikan pada 1999 saat batuknya tak kunjung sembuh
dan dada terasa nyeri. Sesak napas yang berulang kali muncul membuat
Amir tersengal-sengal. Pengecekan di RS Persahabatan pun dilakukan,
termasuk dengan spirometri, alat khusus untuk mengecek fungsi paru-paru.
Dari situlah terlihat bahwa fungsi paru-paru Amir sudah menurun, meski
ia tak tahu persis angka penurunannya. Dokter pun memvonis bahwa Amir
mengalami PPOK.
Sejak saat itu saban hari pensiunan letnan
kolonel itu rutin menghirup obat untuk memperlambat penurunan fungsi
paru-paru. Selain itu, ke mana pun Amir pergi, di kantongnya selalu ada
obat pelega pernapasan semprot, obat mujarab saat sesak napas menyerang.
PPOK
adalah penyakit yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran
napas. Penyebab utama gangguan ini adalah kebiasaan merokok meski faktor
lain, seperti polusi udara, bisa menjadi pemicu PPOK. Penyakit ini
menjadi salah satu topik yang dibahas dalam Pertemuan Ilmiah Pulmonologi
dan Ilmu Kedokteran Respirasi di Jakarta pada 8-11 Februari.
“Penderita
PPOK meningkat pesat sejalan dengan jumlah perokok di Indonesia yang
semakin banyak,” kata Profesor Wiwien Heru Wiyono, dokter spesialis
paru-paru dari FKUI-RS Persahabatan, seusai acara. Jumlah perokok
meroket karena usia awal perokok di negeri ini kian muda. Selain itu
jumlah perempuan yang merokok kian meningkat. Menurut Kementerian
Kesehatan, prevalensi perokok pada wanita pada 1995 sebesar 1,7 persen,
kemudian angkanya naik menjadi 4,2 persen pada 2010. Adapun prevalensi
perokok pria meningkat dari 53 persen pada 1995 menjadi 66 persen pada
2010.
Ihwal PPOK, survei penyakit tidak menular yang dilakukan
kementerian yang sama pada 2004 menunjukkan bahwa penyakit ini menempati
urutan pertama penyumbang kesakitan (35 persen), diikuti asma bronkial
(33 persen), kanker paru-paru (30 persen), dan penyakit lain (2 persen).
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), pada 2002, PPOK merupakan penyebab
kematian ketiga terbesar bagi warga dunia setelah penyakit
kardiovaskuler dan kanker. Risiko bagi perokok untuk tersambar PPOK atau
kanker paru-paru adalah 20-25 persen.
Menurut Nurfitriani,
dokter yang saban hari menangani pasien PPOK di gedung asma RS
Persahabatan, banyak pasien penyakit ini yang datang pada derajat dua,
yang ditandai oleh sesak napas dan hambatan beraktivitas. “Kadang-kadang
saja kami menemukan pasien yang datang pada derajat satu, yang ditandai
dengan gejala batuk-batuk,” katanya. “Pada derajat satu, pasien sering
tidak sadar bahwa paru-parunya bermasalah.”
Agar kualitas hidup
pasien PPOK tak kian memburuk, selain pelega napas dan obat yang
memperlambat kerusakan fungsi paru-paru, mereka mendapat rehabilitasi
medik. Ada latihan pernapasan, senam, berolahraga dengan sepeda statis,
dan latihan lainnya. Rehabilitasi seperti itu pula yang dijalani Amir.
Merasa tak enak hidup dengan fungsi paru-paru yang kian menurun, Amir
pun mewanti-wanti agar ketiga anaknya yang laki-laki menjauhi rokok.
“Lihat
akibat buruknya seperti yang Bapak alami,” kata Amir. Kini anak
sulungnya berhenti merokok. Adapun yang dua masih menjadi pekerjaan
rumah bagi kakek sembilan cucu ini untuk mengingatkan bahaya merokok.
sumber: tempo.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar