Koresponden televisi khusus dokumenter investigatif Vanguard,
Christof Putzel, mengungkapkan keheranannya melihat iklan rokok di
siaran televisi Indonesia. "Ketika tiba di Indonesia, saya menyalakan
televisi dan melihat betapa masifnya iklan rokok," ujar dia dalam
peluncuran buku A Giant Pack of Lies, Bongkah Rahasia Kebohongan, di Universitas Atmajaya, Selasa, 21 Februari 2012.
Christof, yang juga membuat film Sex, Lies & Cigarette,
mengaku tak pernah melihat iklan seperti itu sebelumnya. Apa yang
terjadi di Indonesia, diakuinya, jauh lebih longgar ketimbang negara
asalnya, Amerika Serikat. Di Amerika, iklan tidak diputar sesering di
Indonesia, dan juga ada iklan tentang bahaya merokok yang begitu
mengerikan sebagai penyeimbang. Iklan kematian akibat rokok dengan
paru-paru atau bibir yang rusak bisa diputar sehari tiga kali di stasiun
televisi Amerika Serikat.
Tapi, di Indonesia, ia melihat orang bebas merokok di mana saja. Ketika di jalan, dia bisa melihat iklan di billboard atau di media cetak, juga di media elektronik, untuk mengingatkan betapa keren dan macho-nya
menjadi seorang perokok. "Philip Morris (perusahaan tembakau Amerika
Serikat) telah berhasil mencekoki anak muda tentang betapa kerennya
mengisap tembakau," ujar Christof.
Menurut dia, tujuan utama
perusahaan rokok itu adalah membuat kecanduan, terutama untuk perokok
baru, yang notabene berasal dari kaum muda. "Ketika perokok baru sudah
adiksi, mereka sudah mendapatkan pelanggan yang loyal," ujar Christof.
Alhasil,
perusahaan rokok pun tak kesulitan untuk kampanye lagi karena sudah
dapat banyak pelanggan. Untuk menyadarkan para perokok baru yang masih
menggangap bahwa merokok itu keren, seksi, dan macho, menurut
Christof, bisa dilakukan dengan cara mengungkap modus penipuan ini.
"Kampanye yang berhasil bagi anak muda di Amerika adalah menyadarkan
mereka bahwa perusahaan itu memanfaatkan mereka. Mereka dimanipulasi,"
katanya.
Ketika tahu dimanipulasi, para remaja itu mau bicara
untuk melawan kebohongan dari perusahaan rokok tersebut. Kampanye para
remaja itu kemudian diteruskan ke teman sebaya, bahkan ke orang tua,
sehingga bisa mencegah munculnya perokok baru.
MTS Masli, praktisi periklanan, menuturkan bahwa pemberian contoh rokok adalah kampanye persuasif industri rokok. "Sampling itu jahat sekali," ujar mantan Ketua Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia ini.
Namun,
ia mengakui, industri rokok memang menyediakan kantong khusus yang
besar untuk promosi. Saat masih terjun di dunia periklanan, ia mencatat
industri rokok selalu masuk lima industri yang belanja iklannya
tertinggi.
Catatan AC Nielsen pada kuartal pertama 2011, nilai
belanja industri rokok berada di nomor lima dengan total Rp 516 miliar.
Tahun 2010 belanja iklan industri rokok berada di posisi keempat dengan
nilai Rp 1,98 triliun. Tahun 2009 belanjanya sekitar Rp 1,78 triliun.
Angka yang cukup besar untuk sekadar memberi sampel, beriklan di
televisi dan jadi sponsor musik atau olahraga.
sumber: tempo.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar