Senin (2/7/12) lalu berlangsung pertemuan lintas sektor
terkait konsumsi tembakau. Pertemuan yang diinisiasi oleh Kementrian Kesehatan
ini berlangsung di Hotel Parklane, Jakarta Selatan. Pertemuan menghadirkan
Sarwan Hamid (Komisi IX DPR RI), Abdillah Ahsan (LDFE UI), Bambang Sulistomo
(Staf khusus Menkes bidang politik kebijakan kesehatan) sebagai pembicara,
serta turut mengundang pejabat Eselon II dari lintas kementrian lainnya. Forum
dibuka oleh Ratna Rosita (Sekjen Kemenkes RI).
Diskusi yang dimoderatori oleh Rohani Budi Prihatin dibuka dengan
penyampaian kajian produk tembakau dari aspek social, ekonomi, dan pendidikan
yang disampaikan oleh Bambang Sulistomo. Bambang menyampaikan tentang begitu
banyaknya kepentingan yang terkait dalam pengendalian tembakau di Indonesia.
Begitu pula dengan rumitnya membangun komitmen yang terkait subtitusi tanaman
tembakaudan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang selama ini
alokasinya banyak difokuskan untuk upaya kuratif.
Selanjutnya, Abdillah Ahsan menyampaikan tentang
bagaimana membangun pemahaman bersama atas pengendalian konsumsi rokok di
Indonesia. Abdillah menyampaikan tentang total kerugian makroekonomi terkait
konsumsi rokok yang mencapai Rp 245.4 triliun, sementara penerimaan cukai
akibat tembakau hanya Rp 56 triliun. “Cukai juga seharusnya digunakan untuk
mengendalikan konsumsi. Jadi, bea cukai dianggap berhasil apabila mampu
menurunkan konsumsi rokok. Tapi selama ini bea cukai selalu berbangga saat
penerimaan cukai meningkat. Ini yang salah kaprah,” ungkap Abdillah saat
membahas mengenai cukai rokok.
Dalam diskusi ini, Hakim Sorimuda Pohan (TCSC IAKMI)
berpendapat bahwa penyediaan ruangan merokok
seharusnya menjadi disinsentif bagi perokok. “Bukan penghargaan kepada
perokok sehingga ruangan khusus perokok seringkali dibuat nyaman,” imbuhnya.
Selain dihadiri oleh pemerhati pengendalian tembakau,
forum ini juga dihadiri oleh petani tembakau. Sukiman, mantan petani asal
Klaten, Jawa Tengah, mengungkapkan kesaksiannya selama ia menjadi petani
tembakau. Saat ini, ia sudah tidak lagi menanam tembakau. “Saya sudah mengganti
tanaman lain yang lebih menguntungkan.” Ia menambahkan, saat ia menjadi petani
tembakau, ia dan teman-teman petani lain
seringkali bimbang. “Harga tembakau itu tidak ajeg (tetap-red). Tembakau kami dihargai sesuka hati. Seringkali
harga tembakau kami pun anjlok,”ungkapnya
Selain petani tembakau, forum juga dihadiri oleh para
korban rokok yang menderita kanker laring. Mereka kehilangan pita suaranya
sehingga tidak dapat lagi berbicara layaknya orang normal. Panjaitan, salah
satu korban rokok, mengungkapkan bahwa ia adalah perokok pasif. “Saya bekerja
di lingkungan yang penuh asap rokok, Tapi saya sendiri tidak merokok. Saya pun
terserang kanker sejak usia 23. Bisa kembali berbicara dengan susah payah dan
menggunakan alat yang setiap tahunnya harus diganti seharga Rp5 juta,”
ungkapnya. Panjaitan dan tiga rekan lainnya yang hadir di forum itu bernasib
sama. Diantara mereka ada yang merokok saat masih duduk di bangku SMP.
Panjaitan dan tiga orang rekannya menjadi relawan di
RSCM. Dengan kemampuan berbicara yang sangat susah payah, mereka memberikan
motivasi kepada penderita kanker laring lainnya tanpa dibayar sepeser pun.
Mereka berharap semoga pemerintah memperhatikan upaya mereka dan menyediakan
ruangan yang lebih layak demi kelancaran kegiatan mereka yang saat ini
tergabung dalam Perhimpunan Pewicara Esofagus. (IA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar